Pontianak (Antara Kalbar) - Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat menemukan Untan Biomassa Karbon Meter (UBKM) atau alat ukur untuk menghitung serapan karbon di pohon dalam menurunkan efek rumah kaca.
"Penciptaan alat ukur untuk menghitung serapan karbon di pohon tersebut kerja sama Fakultas Kehutanan Untan Pontianak dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, serta yayasan Arta Graha Peduli(AGP) guna memudahkan kerja dalam pengukuran serapan karbon di pohon," kata Dekan Fakultas Kehutanan Untan Pontianak Gusti Hardiansyah, Jumat.
Ia menjelaskan alat ukur serapan karbon di pohon itu harganya sekitar Rp5 juta. Saat ini Pemprov Kalbar sudah memesan 40 unit alat tersebut untuk dibagikan ke kabupaten/kota yang memiliki hutan dan anggota negara-negara yang peduli atas efek rumah kaca.
"Alat itu cukup mudah digunakan, yakni dengan melingkarkannya pada pohon maka dengan begitu bisa mengetahui biomassa karbonnya setelah dihitung dengan rumus allometrik dengan 70 persen tingkat ketelitian," ungkap Gusti.
Gusti menambahkan alat itu mempermudah pengukuran biomassa karbon pada pohon secara keseluruhan tanpa harus melukai pohon apalagi harus menebang pohon.
"Saya dedikasikan alat ini untuk Untan sehingga hasil riset kami tidak hanya di atas kertas saja, melainkan nantinya bisa bermanfaat bagi masyarakat Kalbar dan Indonesia umumnya yang punya hutan," ujarnya.
Gusti menargetkan, tahun ini akan memproduksi sebanyak 40 unit dengan per bulan 10 unit. UBKM tersebut telah diperbarui sehingga lebih ringan dan praktis, sebelumnya alat tersebut tubuhnya berbentuk persegi panjang dengan roda bergerigi diatas setelah diperbarui alat tersebut tubuhnya menjadi bulat sehingga mudah digunakan.
Dalam kesempatan itu, Gusti merencanakan akan memperbarui alat tersebut dengan sistem digital dan menggunakan laser sehingga akan lebih praktis lagi dari yang sekarang.
"Kami akan luncurkan alat ini, yang akan langsung dilakukan oleh Gubernur Kalbar Cornelis sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat Kalbar," kata Gusti.
Gusti menyatakan yang bisa mengurangi atau menghapus karbon hanya negara-negara berkembang yang masih memiliki cadangan hutan luas, sementara negara maju hanya memproduksi atau menghasilkan karbon.
"Disitulah nantinya ada bisnis dalam pengurangan karbon oleh negara yang punya hutan, sementara negara maju harus membayar ke negara yang punya hutan atas pengurangan karbon tersebut," katanya.
Menurut dia, bisnis karbon baru bisa direalisasikan sekitar tahun 2020, setelah cara penghitungannya jelas, salah satunya menggunakan alat ukur untuk menghitung serapan karbon di pohon tersebut.
Fakultas Kehutanan Untan Temukan Alat Ukur Karbon
Jumat, 26 September 2014 14:26 WIB