Sampan itu melaju lambat saat didayung Rini, siswi kelas III SD, yang hendak menuju sekolahnya.
Kondisi yang dialami Rini, bukan hal luar biasa bagi anak-anak di Desa Sepantai, Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.
Anak-anak desa tersebut biasa setiap hari harus mengarungi arus deras Sungai Sepantai yang jarak tempuhnya hingga sekitar 400 meter menuju tempat belajarnya di SDN 18.
Rini mengaku, transportasi sampan, satu-satunya moda transportasi untuk menuju tempat dia dan teman-teman sedesanya untuk menuntut ilmu di SD tersebut.
"Kalau pas arus deras atau ada banjir, terpaksa tidak bersekolah. Tidak berani menyebrang," ungkap Rini yang lugu.
Tetapi, ternyata tantangan anak-anak desa terpencil di kabupaten perbatasan dengan Sarawak Malaysia itu tidak hanya moda transportasi untuk menuntut ilmu.
Gedung SDN 18 tempat Rini belajar kondisinya sangat memprihatinkan. Tidak hanya kondisi ruang belajar yang jauh dari layak, juga dinding sekolah yang sudah bolong, atap rusak, serta meja dan kursi yang sudah rapuh.
Yang lebih memprihatinkan lagi, SDN 18 hanya memiliki tiga ruang belajar, sehingga guru mengambil kebijakan menggabung kelas.
Untuk kelas I digabung kelas II, kelas III dan IV, dan Kelas V dan VI. Dalam kelas gabungan itu antara murid kelas I dan kelas II hanya dipisahkan oleh jarak kursi dan meja, begitu juga kelas III dan IV, kelas V dan kelas VI.
Kepala Desa Sepantai Herlin membenarkan, kondisi SDN 18 Desa Sepantai, yang sangat memprihatinkan, yakni hanya memiliki tiga ruang belajar, dengan bagian gedung yang tidak tidak layak.
"Kondisi SDN 18 Sepantai, sudah beberapa kali kami adukan ke Pemerintah Kabupaten Sambas, agar dilakukan perbaikan, tetapi terkesan diabaikan," katanya.
Lokasi SDN 18 yang hanya 3-5 meter dari Sungai Sepantai juga mengkhawatirkan, karena terancam ambrol dengan adanya abrasi di bibir sungai. "Saya khawatir juga keselamatan anak-anak sekolah itu kalau tiba-tiba bangunan sekolah itu ambruk," kata Herlin.
Bangunan sekolah SDN Inpres tersebut dibangun tahun 1978, diakui Herlin belum ada pembangunan rehab. Dengan lokasi SDN 18 yang dekat dengan sungai, bila sungai meluap, sudah dipastikan sekolahnya dilanda banjir.
Malah sekolah itu pernah terendam hingga ketinggian 3-4 meter sehingga aktivitas sekolah terhenti bahkan sampai berbulan-bulan tidak bisa melakukan aktivitas belajar.
Kini sebanyak 43 murid SDN 18 Sepantai dari kelas I-VI mau tidak mau harus belajar dengan kondisi serba terbatas. Sedang gurunya empat orang, yang semuanya sudah berstatus PNS.
Dia berharap, Pemkab Sambas memperhatikan infrastruktur pendidikan dan jalan di desanya sehingga anak-anak desa itu bisa menuntut ilmu dari SD hingga SMA/sederajat.
Data Desa Sepantai menunjukkan, dari sekitar 100 anak di desanya hampir 90 anak berhenti sekolah, baik tamat SD atau SMP. Yang mampu sampai jenjang SMA tinggal 10 anak.
Warga Transmigrasi
Warga Transmigrasi Satai, Kecamatan Subah, yang berdampingan dengan Kecamatan Sejangkung, Kabupaten Sambas, juga tidak kalah sengsaranya dalam memperoleh pendidikan, baik tingkat SD hingga SMA/sederajat.
Sekitar delapan ribu warga atau tiga ribu kepala keluarga di Transmigrasi Satai, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas, saat ini sangat membutuhkan sarana infrastruktur pendidikan dan jalan yang kondisinya sangat memprihatinkan.
"Transmigrasi Satai seperti tidak ada di peta, sehingga terkesan dilupakan. Sejak pengelolaan Transmigrasi Satai diserahkan pada pemerintah daerah, infrastruktur jalan dan pendidikan tidak lagi diperhatikan sama sekali oleh pemerintah Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalbar," Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah, Iskak.
Transmigrasi Satai terdiri dari empat satuan pemukiman (SP), yakni SP A hinggai SP D, dengan jumlah kepala keluarga sekitar tiga ribuan, dengan jumlah delapan ribuan tersebut.
Transmigrasi Satai berdiri sejak tahun 1982, dan baru disediakan fasilitas SDN sejak tahun 1984, yakni SDN 11 Satai, sekarang sudah empat SD, SMP dua unit, yaitu SMPN 2, dan SMPN V satu atap, sementara SMA tahun 2011 baru didirikan.
"Untuk SMA fasilitasnya kurang sehingga banyak anak-anak kami yang sekolah di Kota Sambas, harus sewa kost dengan Rp350 ribu/bulan atau total Rp1 juta untuk satu bulan, termasuk uang makan dan ongkos lainnya," ungkap Iskak.
Dalam kesempatan itu, Ketua Komite Pendidikan Masyarakat, Kecamatan Subah tersebut, menyambut baik dengan telah masuknya LSM Save the Children sehingga bisa memotivasi anak-anak lebih giat belajar yang sebelumnya cenderung turun akibat minimnya infrastruktur pendidikan dan jalan.
Program serupa diharapkan terus berlanjut sehingga anak-anak dari keluarga tidak mampu bisa terus mengeyam pendidikan minimal hingga jenjang SMA/sederajat.
Bupati Sambas Juliarti Dj Alwi saat dimintai tanggapannya mengakui, kalau kabupaten yang baru sekitar 10 tahun lebih dimekarkan itu masih banyak memiliki keterbatasan sarana dan prasarana infrastruktur, baik jalan, pendidikan, maupun kesehatan.
"Sehingga dalam dua terakhir kami melakukan perencanaan yang terpadu, terkait pembangunan infrastruktur jalan dengan infrastruktur pendidikan, sehingga ketika ada sekolah, maka juga ditunjang sarana jalan," katanya.
Berbagai upaya terus dilakukan dalam meningkatkan pembangunan dasar tersebut, walaupun hingga kini masih jauh dari sempurna, dan itu tentunya butuh dukungan dari pemerintah pusat, provinsi dan doa semua pihak, harap Bupati Sambas.
Kondisi Sekolah Di Sambas Masih Memprihatinkan
Minggu, 8 Desember 2013 19:40 WIB